Minggu, 04 Maret 2012

ANALISIS LAPIS MAKNA PUISI PADAMU JUA KARYA AMIR HAMZA

PUISI PADAMU JUA KARYA AMIR HAMZAH
Padamu Jua
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Punya rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menusuk ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Matahari – bukan kawanku
(Amir hamzah: Nyanyi Sunyi)
Di antara sastrawan-sastrawan Pujangga Baru, nama Amir Hamzah tentu paling dikenal dalam bidang puisi. Hal ini tidak lepas juga dari gelar yang telah dilekatkan padanya oleh Paus Sastra Indonesia, H. B. Jassin sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Melihat salah satu puisi Amir Hamzah berjudul Padamu Jua di atas, kita tidak bisa melepaskannya dari ciri khas Amir Hamzah yang suka mengangkat tema-tema agama. Kesukaannya dengan hal-hal berbau sufistik juga mengingatkan kita pada Hamzah Fansuri, peletak dasar puisi modern di Indonesia.
Padamu Jua adalah puisi yang mengisahkan tentang pertemuan dua orang kekasih yang telah lama terpisah, yaitu antara aku lirik dengan kekasihnya. Puisi ini banyak menggunakan bahasa simbol dengan konotasi positif, seperti kandil, pelita, sabar, setia, dara. Selain itu banyak juga digunakan kata-kata berkonotasi negatif, seperti kikis, hilang, cemburu, ganas, cakar, lepas, nanar, sasar, sunyi. Kata-kata tersebut dapat membantu kita untuk memahami maksud dari puisi tersebut. Oleh karena itu, saya menafsirkan pertemuan yang dimaksud adalah pertemuan yang abadi, yaitu setelah kematian aku lirik. Sedangkan kekasih yang dimaksud adalah Tuhan aku lirik yang selalu mencintainya walupun aku lirik telah berpaling dari-Nya.
Pada bait pertama, dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa aku lirik merasakan bahwa ia tidak bisa menghindar dari kekasihnya, Tuhannya. Walaupun cinta itu sampai habis terkikis oleh masa dan hilang terbang ke tempat yang antah-berantah, aku lirik tetap tidak bisa melepaskan diri dari kekasihnya. Pulang kembali aku padamu, kata aku lirik dalam salah satu baris puisinya. Bahkan untuk menguatkan keteguhan cinta kekasih aku lirik tersebut, Amir Hamzah menambahkan Seperti dahulu. Ini menandakan bahwa memang cinta yang diberikan oleh kekasih aku lirik tidak dapat berubah. Dan itu tetap dirasakan aku lirik ketika ia melakoni “pulang kembali” tersebut.
Pada bait kedua, aku lirik memperlihatkan bagaimana ketulusan cinta kasih yang diberikan kekasihnya pada dirinya. Cinta yang diberikan kekasihnya diibaratkan sebagai kandil kemerlap dan pelita jendela di malam gelap yang selalu sabar dan setia menanti kedatangan aku lirik dari perginya yang lama.
Namun, di bait ketiga, aku lirik tetap tidak mau mepedulikan kekasihnya itu. Sebagai seorang manusia, ia juga membutuhkan rasa cinta yang berbentuk (rindu rupa). Sedangkan kekasihnya ini adalah sesuatu yang tidak nampak.
Pada bait keempat, aku lirik menumpahkan penasarannya itu dan bertanya, Di mana engkau /rupa tiada/ suara sayup/ hanya kata merangkai hati. Karena yang dicintai adalah Tuhan, maka mata manusia tidak mampu melihatnya. Sehingga rupa pun menjadi tiada. Tetapi bisikan kata-kata selalu dirasakan aku lirik merangkai hatinya untuk meyakini bahwa ia memang tengah mencintai kekasihnya dan kasih itu berbalas.
Pada bait kelima, aku lirik menjelaskan bahwa kekasihnya itu telah menjadi terbakar api cemburu oleh kelakuan aku lirik, yaitu ketika aku lirik meningglkan kekasihnya, sebelum ia melakoni “pulang kembali”nya. Hal ini, menurut aku lirik, mengakibatkan sang kekasih menjadi ganas. Aku lirik melihat bahwa kekasihnya hanya ingin cintanya tak berbagi ke lain hati. Kekasih aku lirik ingin memiliki aku lirik sepenuhnya. Kata mangsa ini menandakan pemaksaan kekasihnya tersebut.
Bait keenam menunjukkan kepasrahan aku lirik karena telah “dimangsa” oleh “cakar” kekasihnya. Ia menjadi nanar dan gila sasar. Tak tahu hendak ke mana. Ia telah buta arah. Dalam bahasa Sasak, biasa dikatakan kebebeng. Karena, biar bagaimanapun, ia menyadari bahwa ia akan berulang (kembali) lagi kepada kekasihnya. ditandaskan lagi, cinta yang diberikan kekasihnya diibaratkan Serupa dara di balik tirai yang seakan-akan pelik menusuk ingin, benar-benar membuat penasaran dan ingin tahu.
Pada bait terakhir merupakan puncak pertemuan aku lirik dengan kekasihnya. ternyata aku lirik mendapatkan bahwa kasih yang diberikan kekasihnya itu sunyi. Sepi, karena ia hanya menunggu seorang diri. Itu dirasakan aku lirik setelah waktu bukan lagi menjadi haknya. Dan matahari bukan lagi menjadi kawannya. Saat aku lirik melakukan “pulang kembali”-nya itu, yaitu ketika aku lirik mengalami kematian.